Selamat Idul Fitri 1439 H Taqabbalallahu Minna wa Minkum

Rabu, 05 April 2017

Waspada Modus Baru Penculik Incar Anak-anak


Orang tua kembali diminta meningkatkan kewaspadaan dalam mendidik dan mengawasi anak. Sebab, di era milenial sekarang ini, anak tak hanya memiliki teman di sekolah maupun di lingkungan rumah, tetapi juga berteman di media sosial.

Hal itulah yang tak bisa sepenuhnya dipantau oleh keluarga. Berteman di media sosial tak disalahkan, tetapi jika tidak dibekali dengan pengetahuan yang luas, maka bisa keluar dari alam bawah sadar.

Banyak contoh yang terjadi belakangan ini, di mana anak diculik oleh orang tak dikenal lantaran berkenalan di media sosial. Biasanya, penculik anak mengincar korban yang lemah atau mudah untuk dirayu sehingga mau menuruti apa yang mereka inginkan. Kasus tersebut bukan hanya sekali terjadi, bahkan sudah berkali-kali dan pelakunya sudah banyak yang ditangkap polisi.

Komisi Nasional Perlindungan Anak mendata, sejak tahun 2014 hingga 2017, kasus penculikan anak terus meningkat. Latar belakang penculikan diklasifikasikan menjadi lima. Diculik untuk diadopsi secara ilegal, untuk balas dendam atau meminta tebusan, dipekerjakan secara paksa menjadi anak jalanan, pembantu rumah tangga dan pengemis, untuk eksploitasi seks komersial dan tidak menutup kemungkinan juga untuk penjualan organ tubuh.

Pada tahun 2014, data kasus penculikan anak yang masuk ke Komnas Anak sebanyak 51 Kasus. Dari kasus tersebut, enam di antaranya merupakan penculikan bayi. Sementara itu tahun 2015 ada 87 kasus, 21 di antaranya adopsi ilegal, 25 kasus dipekerjakan secara paksa, 24 kasus seks komersial dan 17 kasus balas denam atau tebusan.

Ketua Umum Komnas Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait, mengungkapkan pada tahun 2016 jumlah kasus penculikan anak naik menjadi 112 kasus. Dengan perincian adopsi ilegal sebanyak 32 kasus, dipekerjakan secara paksa 27 kasus, seksual komersial 24 kasus, dan balas dendam atau meminta tebusan sebanyak 29 kasus.

"Untuk tahun 2017, yang dihitung sampai bulan Januari hingga Maret terdapat 23 kasus penculikan. Latar belakangnya yaitu, adopsi ilegal 6 kasus, dipekerjakan secara paksa 9 kasus, seksual komersial 4 kasus, dan balas dendam atau minta tebusan sebanyak 4 kasus," ujar Arist di kantornya, Jumat.

Arist mengungkapkan, selain kasus-kasus tersebut, modus penculikan saat ini juga terbilang baru. Para pelaku mengamati situasi agar mudah masuk dalam lingkungan anak-anak.

"Sekarang sudah tidak ada lagi penculik menggunakan motor langsung ambil anak, atau memasukkan ke dalam mobil. Tidak seperti itu. Sekarang sudah banyak macamnya," kata Arist.

Dia mengungkapkan, cara penculikan anak yang sedang marak saat ini yaitu dengan berpura-pura menjadi orang gila. Untuk mengelabui orang di sekitar lingkungan, para pelaku kerap berpura-pura menjadi orang gila. Jika nanti upaya menculiknya gagal dan tercium oleh orang lain, ia dapat berpura-pura gila untuk meloloskan diri dari jerat hukum.

"Selain itu, ada juga para penculik yang sengaja berpura-pura sebagai pengemis. Seperti yang terjadi di Surabaya," kata Arist

Ada juga cara yang dilakukan para penculik dengan mengaku sebagai suruhan orang tua atau keluarga terdekatnya. "Bisa saja pelaku penculik mengaku disuruh oleh ayah atau ibu si anak untuk menjemput dan mengantar anak. Itu bisa terjadi," lanjut dia.

Kepala Bidang Hubungan Masyarakat dari Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Raden Prabowo Argo Yuwono, melontarkan hal senada. Menurut dia, biasanya pelaku tawarkan iming iming atau mengaku kenal dengan teman dan keluarga korban. “Jadi kalau ada tipu rayu, tolong diwaspadai. Terutama orang tak dikenal, jangan langsung percaya,” kata Argo.

Cara berikutnya yang kerap digunakan oleh para pelaku penculikan, lanjut Arist, yakni dengan menyamar sebagai pedagang keliling. Seperti pedagang jajanan anak atau pedagang kebutuhan rumah tangga.

"Ini tentu perlu kewaspadaan dari para orang tua agar jangan sampai lepas kontrol terhadap anak," ujarnya.
Namun, menurut Argo, modus ini terlalu berisiko bagi pelaku. Walaupun bisa saja itu terjadi, cara itu bisa dibilang sulit dilakukan.

“Kan kalau jual makanan, banyak orang. Nggak lah kalau jualan di sekolah, karena lingkungan sekitar kenal, termasuk guru. Jadi lebih karena orang sekitar yang mengiming-imingi [korban],” kata Argo.

Dikutip dari VIVA.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Terima kasih sudah berkomentar yang sopan dan membangun.
Jangan bosan untuk berkunjung lagi ya....